G 30 S/PKI, Jas Merah dan Jas Hijau

 

Sudah 55 tahun tragedi berdarah itu berlalu. Rentang waktu yang cukup panjang. Setengah abad lebih. Tapi, kekejian Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terbayang dan tak boleh kita lupakan.

Jika kita cermati sejarah yang ada, sejatinya kisah pemberontakan PKI bukan hanya pada 1965. Sebelum kemerdekaan,
PKI memberontak pada 1926. Lalu berlanjut pada 1948 di Madiun dengan Muso sebagai pemimpinnya. Hanya tiga tahun setelah Indonesia merdeka.

Kemudian yang paling tragis dan menyejarah pada 30 September 1965. Dipa Nusantara Aidit jadi tokohnya, bersama Untung dan lainnya. Tokoh-tokoh Angkatan Darat (AD) diculik dan dibunuh secara kejam. Dimasukkan ke sebuah sumur tua di Lubang Buaya, pinggiran Jakarta Timur.

Kekejian PKI bukan mitos. Seorang antropolog Amerika, Robert Jay menuliskan ini secara khusus. Dia turun ke Jawa Tengah pada 1953 untuk melihat jejak kekejaman PKI-nya Muso.

“Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.”

Seorang narasumbernya berkisah kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”

Lalu ada cerita lain. Dikenal dengan Tragedi Kanigoro, Kediri. Terjadi 9 bulan sebelum G 30 S PKI berkhianat. Peristiwanya berlangsung  di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965.
Saat itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung. “Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak,” kata Masdoeqi, salah satu saksi sejarah kepada Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri.

Mengutip Tempo, massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.
Kemudian massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi.

Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh. Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang.

“Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja,” ujar Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.

Hari-hari ini, secara kasat mata kita melihat ada upaya sekelompok tertentu untuk menghilangkan jejak keji PKI. Berbagai cara dilakukan. Tujuannya agar generasi sekarang buta sejarah sehingga tidak paham apa itu PKI dan ideologi komunisnya.

Kita masih ingat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Didalamnya Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Juga tidak memasukkan TAP MPRS No. XXV/1966 sebagai konsideran.

Lalu, kita terus saja dikejutkan dengan kabar soal penyerangan terhadap ulama. Juga perusakan masjid dan musholla. Serta caci-maki pada ulama dan menghina agama.

Sejarah tak boleh ditinggalkan. Persis pesan Bung Karno. Jas Merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Di sisi lain, kita juga tak boleh menafikan peran ulama dan umat. Jas Hijau, jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama dan umat. Begitu kata Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Karena itu, ini hari yang tepat bagi kita untuk terus mengingat peristiwa keji 55 tahun silam. Sekaligus membuat kita tak lupa akan pengorbanan ulama dan umat. Mereka yang berjuang di garis depan saat perang kemerdekaan. Mereka pula yang banyak jadi korban ketika PKI memberontak.

Saya ingat betul pesan guru sejarah saat sekolah di SMA “Kita belajar sejarah agar bisa lebih bijak dalam bertindak.”

Pesan ini sangat tepat. Sebab dalam kehidupan, seringkali terjadi pengulangan sejarah. Hanya waktu dan pelakunya saja yang berbeda.

Sekali lagi: Jas Merah dan Jas Hijau!

Leave a Comment