Memimpin Rapat BAKN, Mengkaji Pengelolaan Subsidi Minyak dan Gas
Dua pekan terakhir ini, agenda rapat di DPR kian padat. Mayoritas saya hadiri secara fisik. Tidak virtual. Mengingat di antara agenda tersebut, saya sendiri yang harus memimpin jalannya rapat.
Seperti diketahui, selain sebagai anggota Komisi V DPR dan Badan Pengkajian (BP) MPR, saya juga diamanahi menjadi Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), salah satu Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Setidaknya sudah 4-5 kali saya rapat di BAKN dalam pekan-pekan ini. Tema yang kami bahas soal subsidi energi, minyak dan gas nasional. Rapat ini dinamakan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum), menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas temuan dalam pengelolaan subsidi. BAKN sendiri tupoksinya adalah melakukan telaah atas temuan-temuan BPK.
Di Indonesia, kebijakan subsidi merupakan instrumen kebijakan fiskal dalam rangka menjaga pemerataan terhadap akses ekonomi dan pembangunan. Subsidi diperuntukkan untuk melakukan koreksi terhadap ketidaksempurnaan pasar.
Subsidi energi di Indonesia dalam satu dekade terakhir mencapai angka lebih dari seratus triliun rupiah setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2014 angka subsidi energi mencapai angka Rp 246,5 triliun atau 2,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan belanja di lebih 5 kementerian lembaga.
RDPU dilakukan untuk mendapatkan masukan terkait subsidi energi dan melihat lebih jauh efektifitas kebijakan dan metode pemberiaan subsidi energi yang diterapkan oleh pemerintah. Beberapa pakar diundang sebagai Nara sumber. Juga para pelaku usahanya seperti Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana).
Saya menegaskan, kebijakan subsidi haruslah tepat sasaran. Manfaat subsidi energi mesti bisa dirasakan oleh kelompok masyarakat miskin di Indonesia.
Pada prakteknya, terjadi anomali dan disorientasi sasaran pada kebijakan subsidi di Indonesia, yang justru keluar dari konteks proteksi terhadap kelompok masyarakat miskin. Manfaatnya jatuh pada kelompok yang tidak semestinya.
Meskipun di satu sisi subsidi dipandang sebagai bantuan sosial, namun kebanyakan subsidi energi Indonesia lebih bersifat regresif. Dengan kata lain hanya menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi secara tidak proporsional, sebagai akibat dari subsidi tidak tepat sasaran yang tidak menjangkau kalangan miskin.
Pada saat yang sama, mekanisme harga tetap juga mendorong konsumsi energi yang boros dan sia-sia, dimana hanya memberikan sedikit insentif untuk meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi emisi gas rumah kaca domestik, dan berkontribusi pula terhadap memburuknya neraca perdagangan Indonesia.
Kita berharap, ke depan subsidi lebih tepat sasaran. Juga transparan sehingga potensi kebocoran bisa dikurangi. Dengan cara itulah, cita-cita menjadikan Welfare State atau Negara Kesejahteraan dapat terwujud.
Aamiin.